9.24.2006

Nasib Anak Cerdas di Indonesia

Oleh IIK NURULPAIK

SEBUAH berita ringan mancanegara di salah satu televisi swasta nasional beberapa waktu lalu sungguh sangat mengagumkan. Berita tersebut mengisahkan seorang anak kecil berusia 7 tahun, Alex Mortgail, asal Bremen, Jerman, memiliki IQ yang sangat cemerlang. Dalam usia 2,8 tahun, dia sudah lancar membaca dan menulis. Setiap harinya tak terlewatkan membaca berbagai karya sastra untuk anak, juga "melahap" habis sejumlah jurnal ilmiah, berbagai berita koran maupun berita melalui teknologi informasi. Pendek kata ia tidak pernah melewatkan berbagai informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber.

Orang tua Mortgail sempat merasa khawatir dengan kecerdasan otak anaknya itu. Kecerdasannya telah menyebabkan perilakunya "menyimpang" karena menjadi sangat berbeda dengan anak-anak lain sebayanya. Mortgail hampir setiap harinya hanya mengisi waktunya dengan membaca, menulis, dan "bergaul" dengan teknologi informasi. Ketika memasuki usia 5 tahun, Mortgail sudah bisa menguasai tiga bahasa dunia, Inggris, Spanyol, Prancis, dan tentu saja bahasa Jerman. Di sekolahnya, berbagai bentuk soal hitungan matematika, fisika, dan kimia dapat dijawabnya dalam waktu singkat.

Melihat kecerdasan yang luar biasa pada diri Mortgail, kepala sekolahnya merekomendasikan murid istimewa itu untuk langsung belajar di perguruan tinggi tanpa mengikuti sekolah tingkat menengah. Setelah di universitas, dengan melihat keistimewaan Mortgail, rektor universitas tempat Mortgail kuliah segera mendaftarkan anak itu ke lembaga pemerintah yang secara khusus menangani anak berbakat. Berkat keistimewaan yang dimilikinya, Mortgail dinyatakan sebagai "anak negara". Beberapa tahun kemudian, ketika ia berusia 10 tahun, si anak ajaib itu, muncul di jaringan televisi Jerman untuk melakukan debat ilmiah dengan sejumlah profesor. Itulah kisah Mortgail si bocah ajaib, luar biasa.

Apakah kecerdasan itu?

Pada tahun 1904, Menteri Pendidikan Prancis di Paris meminta psikolog Prancis kala itu, Alpred Binet, dan sekelompok psikolog mengembangkan suatu alat untuk menentukan siswa SD mana yang "berisiko" mengalami kegagalan, agar mereka dapat diberi perhatian khusus. Kerja keras mereka akhirnya membuahkan tes kecerdasan yang pertama. Dalam perkembangannya kecerdasan tersebut diukur secara objektif dan dapat dinyatakan dalam satu angka atau nilai "IQ". Hampir setelah 80 tahun berselang dikembangkannya tes kecerdasan yang pertama tersebut, psikolog Harvard, Howard Gardner, mempersoalkan pengertian kecerdasan. Dia mengatakan bahwa penafsiran kecerdasan di masyarakat awam terlalu sempit. Kemudian ia menulis sebuah buku yang berjudul "Frames of Mind: the Theory of Multiple Intelligences".

Dalam bukunya itu Gardner mengemukakan sekurang-kurangnya ada delapan kecerdasan dasar manusia. Delapan kecerdasan dasar manusia menurut Gardner tersebut adalah,

(1) Kecerdasan linguistik. Kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis misalnya, pendongeng, orator atau politikus, sastrawan, penulis drama, editor, wartawan;

(2) Kecerdasan matematis-logis. Kemampuan menggunakan angka dengan baik misalnya, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistik, ahli logika;

(3) Kecerdasan spasial. Kemampuan memersepsi dan mentransformasikan dunia spasial-visual secara akurat misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu, dekorator interior, arsitek, seniman atau penemu;

(4) Kecerdasan kinestetis-jasmani. Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide, perasaan, misalnya, sebagai aktor, pemain pantomim, atlet atau penari, perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah;

(5) Kecerdasan musikal. Kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara memersepsi misalnya, sebagai penikmat musik, kritikus musik, komposer, penyanyi;

(6) Kecerdasan interpersonal. Kemampuan mempersepsi, membedakan dan peka terhadap suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain;

(7) Kecerdasan intrapersonal. Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri secara akurat (kekuatan dan keterbatasan diri);

(8) Kecerdasan naturalis. Keahlian mengenali dan mengategorikan species -- flora dan fauna -- di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena alam lainnya misalnya, formasi awan dan gunung-gunung.

Bagaimana dengan nasib anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa di Indonesia? Sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap kelompok anak yang memiliki keistimewaan kecerdasan belum begitu menggembirakan. Di Indonesia belum ada lembaga yang secara khusus menaruh perhatian terhadap anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan luar biasa seperti si Mortgail di Jerman, apalagi sampai memprogramkan secara khusus untuk mencari, mengumpulkan, dan memberikan perlakuan istimewa terhadap mereka.

Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa belum memperoleh perlakuan sebagai aset berharga bagi kemajuan bangsa. Conny Semiawan, guru besar psikologi pendidikan dari Univesitas Negeri Jakarta (UNJ), pernah bereksperimen dengan membentuk lembaga pendidikan yang secara khusus menangani anak jenius. Lembaga tersebut cukup berhasil dalam mengembangkan berbagai potensi istimewa yang dimiliki anak. Namun sayang sekali, karena adanya keterbatasan dalam masalah pendanaan, projek uji coba tersebut pun tidak ada kelanjutannya.

Bukan itu saja, di masa lalu, tingkat pendidikan dasar dan menengah pernah membuat suatu langkah kebijakan, yakni memberikan kesempatan kepada setiap siswa berbakat dan memiliki prestasi belajar yang menonjol diperkenankan bisa naik dua tingkat sekaligus. Misalnya, dari kelas 2 bisa langsung naik ke kelas 4 tanpa harus melalui kelas 3, dari kelas 3 langsung ke kelas 5, kelas 4 bisa langsung naik ke kelas 6 tanpa harus belajar di kelas 5 terlebih dulu. Tentu saja langkah tersebut juga dilakukan melalui tes kemampuan ditambah pertimbangan akademis lainnya. Bila dilihat dari sisi akademik, sistem ini membuka kesempatan bagi anak berbakat untuk terus menggali potensinya. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, program tersebut tidak diperbolehkan. Menurut kebijakan tersebut, anak berbakat harus belajar secara bersama dengan anak biasa lainnya. Dengan tujuan yang baik yakni supaya tidak terjadi eksklusivisme.

Pemberlakuan sistem seperti itu hanya membuat mereka menjadi malas, karena tanpa "memeras keringat" saja kemampuannya bisa menyamai anak yang kemampuannya biasa. Akhirnya dalam perkembangannya, karena kemampuannya tak pernah diasah lagi, mereka pun mengalami penumpulan kemampuan. Matilah potensi mereka. Sebagai gantinya, kini di sekolah-sekolah muncul program kelas unggulan. Namun sayangnya, sistem seperti ini hanya mengelompokkan anak-anak pintar agar terpisah dari yang biasa, karena kurikulum maupun metode yang dipergunakannya sama saja dengan kelas reguler biasa yang bukan unggulan. Akhirnya, tujuan dan efektivitas program pun menjadi bias.

Secara filosofis, program pendidikan bagi anak berbakat itu dapat dan harus dilakukan dengan mendekatkan mereka pada realitas kehidupan masyarakat, demi menumbuhkan dan membentuk watak kepeduliannya terhadap berbagai problema di lingkungan sekitarnya, baik masalah ekonomi, sosial, politik, maupun lingkungan alamnya. Mereka harus dibina dalam konteks hubungan sosial dengan manusia, dengan lingkungan alamnya, dan hubungan vertikal dengan Tuhannya, sehingga mereka bisa mengasah kecerdasannya dengan mengkaji dan menganalisis berbagai persoalan yang dihadapinya dengan pendekatan ilmiah yang dilandasi ketauhidan kepada Tuhan YME.

Faktor-faktor penting yang harus mendapat perhatian serius dalam pengembangan anak cerdas adalah menumbuhkan mental mandiri, penanaman rasa percaya diri, dan mengembangkan sikap persaudaraan (kepekaan sosial). Menurut Utami Munandar, Guru Besar Psikologi UI, keberhasilan pendidikan anak berbakat cerdas juga akan sangat bergantung dan ditentukan oleh peranan orang tua, baik dalam proses pembelajarannya di sekolah, maupun kesesuaiannya dengan pendidikan di keluarga. Artinya, orang tua tidak bisa memercayakan sepenuhnya tugas mendidikan anaknya kepada sekolah dan guru. Atau menghendaki anaknya belajar yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi anaknya.

Sekolah bukanlah tempat yang secara serta merta dapat memperbaiki aspek kepribadian anak secara utuh seperti mental, spiritual, etika, dan knowledge anak. Apalagi potensi yang bersifat lahiriah, termasuk potensi bakat dan kecerdasan. Sekolah-sekolah yang ada sekarang ini sudah terlampau berat memikul beban tanggung jawab dan harapan yang begitu tinggi dari orang tua, termasuk dalam menjawab tuntutan kebutuhan dalam upaya pendidikan anak-anak berbakat cerdas. Sekolah secara faktual belum bisa menangani masalah pendidikan anak cerdas ini disebabkan semata-mata proses pembelajaran siswa di sekolah masih belum sepenuhnya efektif karena berbagai keterbatasan, baik yang menyangkut aspek tenaga kependidikannya, sarana, prasarana, maupun sistem manajemen pendidikan.

Dalam memperlakukan anak, hendaknya guru maupun orang tua, tidak memaksakan untuk mempelajari atau menguasai sesuatu (ilmu, keterampilan, kegemaran, dsb.) yang bukan keinginan dan jauh dari kemampuannya. Tentu saja tidak semua potensi kecerdasan (multiple intelligences) seperti yang dikemukakan Gardner di atas dimiliki oleh anak. Anak harus dipahami potensi pribadinya secara tepat. Sehingga kita dapat menerapkan pola dan arah pendidikan bagi pengembangan potensi pribadinya secara benar sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Ibarat seekor kancil, janganlah ia dipaksa untuk bisa berenang tapi latihlah dia untuk bisa berlari semakin cepat karena keunggulan kancil memang dalam berlari, bukan berenang.

Sudah saatnya kita memberikan perhatian secara khusus kepada anak yang memiliki potensi kecerdasan luar biasa. Jumlah mereka menurut perkiraan para ahli mencapai 10-20% dari suatu populasi. Mereka mutiara di dalam lumpur yang harus diangkat dan diasah sampai bersinar. Mereka bibit yang unggul. Jangan biarkan mereka mati dan layu sebelum tumbuh dan berkembang.

Ada secercah harapan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 5 ayat (4) yang menegaskan, bahwa warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.