9.24.2006

Ketika dalam ' Penantian '

Ada saat-saat dalam hidup ketika kamu sangat merindukan seseorang Sehingga ingin hati menjemputnya dari alam mimpi dan memeluknya dalam alam nyata, semoga kamu memimpikan orang seperti ituKetika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakkanTetapi acapkali kita terpaku terutama pada pintu yang tertutup,Sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan untuk kitaSungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita miliki sampai kita kehilangannya

Tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannyaSemoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat. Kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi.Pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagiaAwal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkanJika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dirinya.

Cinta adalah jika kamuKehilangan rasaGairah, RomantikaDan masih tetap perduli padanyaHal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu dam mendapati pada akhirnya bahwa tidak demikian adanya dan kamu harus melepaskannya Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencobaKarena hanya mereka itulah yang menghargai pentinganya orang-orang yang pernah hadir dalam hidup mereka.!!!Cinta dimulai dengan sebuah senyumanDan berakhir dengan sebuah tetesan airmataHanya perlu waktu semenit untuk menaksir seseorangSejam untuk menyukai seseorangSehari untuk mencintai seseorangTetapiDiperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorangBermimpilah tentang apa yang kamu impikanPergilah ketempat-tempat kamu ingin pergiJadilah seperti yang kamu inginkanKarena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang kamu inginkanPandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain.Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hati orang lain pula.

Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnyaJangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya karena kekayaan dapat musnahTertariklah kepada seseorang yang dapat membuatnya tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah.Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya

Kiat memulai hidup rumah tangga

Kesalahpahaman, ketidaksesuaian, pertentangan dan pergesekan lain sering terjadi pada keluarga muda. Wajar, karena masing-masing berlatar belakang berbeda. Bagaimana menyelesaikannya?

1. Kenali Keluarga Itulah sebabnya jauh sebelum seorang pemuda berniat mengawini muslimah, Rasulullah berpesan untuk mempelajari bentuk asal usul calon pasangan hidup. Mengenal pribadi-pribadi dalam keluarga si calon, mengenal cara hidup, prinsip hidup, dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mentradisi dalam keluarga itu. Bisa jadi, pengenalan terhadap keluarga ini jauh lebih penting daripada kenal terhadap calon pasangan itu sendiri! Tidak percaya? Ibnu Majah dan Ad-Dhailami meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: "Pilihlah untuk air mani kamu sekalian, karena sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya." Begitu juga Ibnu Adi dan Ibnu Syakir telah meriwayatkan dari Aisyah secara marfu' tentang hadits Rasulullah : "Pilihlah untuk air mani kamu sekalian. Karena sesungguhnya wanita-wanita itu melahirkan orang-orang yang menyerupai saudara laki-laki dan perempuan mereka". Keluarga, bagi setiap orang adalah lingkungan khusus yang punya ciri khas tersendiri.

Ini menyebabkan para anggota keluarga mempunyai kesatuan emosional yang kuat dan jadilah keluarga sebagai sebuah kelompok yang menyenangkan. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalamnya bisa tetap berakar hingga akhir hayat. Betapa kuat pengaruh lingkungan keluarga, pernah diselidiki oleh para ahli terhadap sebuah keluarga yang punya kebiasaan berbuat jahat, mulai berjudi, mencuri dan merampok. Ternyata sampai tujuh generasi berikutnya, sebagaian besar anggota keluarga mewarisi kebiasaan buruk tersebut. Rata-rata mereka menjadi pejudi,ada yang meneruskan profesi sebagai pencuri dan rampok. Seorang yang berasal dari keluarga cukup, tentunya terbiasa hidup serba bersih. Ibarat tak ada sehelai rambut pun yang belum tersapu setiap hari di rumahnya. Tak sesudut ruangan pun yang ditata tanpa cita rasa seni. Orang yang seperti ini bisa muntah karena bau kamar mandi yang kehabisan kapur barus, atau ia segera menjadi tak kerasan bila keadaan rumah berantakan. Sebaliknya, orang yang dibesarkan dalam rumah kecil dengan kehidupan sederhana, sudah terbiasa dengan tali jemuran malang melintang di dalam rumah dengan bau baju yang pengap karena hari hujan. Pakaian pun ditumpuk sekedarnya, karena tak memiliki lemari yang cukup untuk menyimpan pakaian sembilan orang anggota keluarga. Orang dengan kebiasaan hidup seperti ini seringkali tak lagi bisa menghargai keindahan. Bagi mereka, rumah yang bersih dan menawarkan keindahan adalah mubazir. Yang penting rumah bisa berlindung, tempat makan, tidur, itu sudah cukup. Kedua golongan ini akan mempunyai banyak masalah jika bertemu dan menjadi pasangan hidup. Masalah-masalah sepele, tapi karena telah terjadi hampir setiap hari, bisa menjadi besar.

2. Bekas yang hilang
Selain kebiasaan umum yang berlaku dalam sebuah keluarga, ada juga hal-hal khusus yang dialami seseorang di masa kecil yang turut menentukan perkembangan wataknya. Satu missal tentang kedudukannya dalam anggota keluarga. Seorang anak perempuan di antara enam bersaudara kandung laki-laki mungkin akan tumbuh gadis tomboy yang kasar. S i anak sulung tumbuh menjadi orang yang terbiasa kerja keras, misalnya, sementara si bungsu bisa jadi terbiasa dilayani. Ada juga peristiwa-peristiwa khusus yang menimbulkan pengaruh besar atau bahkan trauma, sehingga membekaskan satu sifat khas, ada istri yang sulit untuk bisa mempercayai suaminya. Segala tindakan suami ditanggapi penuh kecurigaan dan prasangka buruk. Ternyata istri ini mempunyai pengalaman buruk terhadap ayahnya di masa kecil. Sebelum kedua orang tuanya bercerai, selama bertahun-tahun ia menyaksikan bagaimana ayahnya sering marah-marah, menampar, memukul ibu di depan matanya, hanya karena persoalan-persoalan kecil. Seorang anak yang menderita sakit parah hingga bertahun-tahun di masa kecil, menjadi terbiasa dilindungi dan dilayani oleh kakak-kakak dan orang tuanya. Ketika dewasa ia tetap meminta hampir setiap or ang untuk melayani dan menyenangkan dirinya. Ia tumbuh menjadi orang yang tak mau tahu perasaaan orang lain.

3. Saling pengertian
Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ini adalah prinsip utama dalam hidup bersuami istri. Saling memahami kekurangan masing-masing, saling tenggang rasa dan penuh pengertian, tidak membesar-besarkan kekurangan pasangan hidupnya. Sebaliknya, berusaha memahami dan menutup mata terhadap kekurangan teman hidup itu, sambil terus mencari-cari kelebihannya, memperhatikan dan memikirkan segi-segi baiknya. Janganlah terlalu menuntut suami atau istri untuk mau mengubah sifat dan kebiasaan hidupnya. Apalagi jika sifat dan kebiasaan itu bentukan dari keluarga semenjak masa kecil. Dapat diibaratkan dengan sebuah revolusi besar dan butuh proses amat panjang. Kunci penting lainnya dalam masalah ini adalah keterbukaan antara suami dan istri. Suami harus tahu sifat-sifat mana saja darinya yang tak disukai istri. Begitu juga sebaiknya, jangan sampai ada ketidaksenangan yang mengganjal di hati. Selanjutnya, saling memahami dan mau mengerti kekurangan masing-masing. Lebih baik lagi jika ada keinginan untuk mau sedikit menyesuaikan diri. Mengharap memperoleh pasangan yang sempurna tidaklah mungkin ada.

Mencari yang sesuai sifat dan kebiasaan pun teramat sulit. Jauh lebih penting mencari pasangan yang seide, seaqidah, karena di sanalah pokok dari segala permasalahan. Jika pokoknya sudah sama, persoalan-persoalan selanjutnya bisalah diatasi. Tapi jika pokoknya saja sudah bertentangan, ikatan kebahagiaan mudah sekali goyah. Nasihat terakhir bagi segenap insan yang telah menikah, kesiapan anda untuk berkerluarga sama artinya dengan kesiapan untuk berkorban, lebih mementingkan kepentingan keluarga baru daripada kepentingan pribadi. Bersiaplah untuk mengubah diri, sifat, dan kebiasaan lama, untuk disesuaikan dengan kebutuhan keluarga baru anda. Kemudian bersama istri dan anak-anak, menentukan sebuah langkah baru, sifat, dan kebiasaan kekeluargaan yang islami

Mengenal kecerdasan Emosional Remaja

Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi.

Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya.Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Apa Sih Kecerdasan Emosional

Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu : Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.

Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.

Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.Mengenali emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.Dengan memahami komponen-komponen emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini.

Nasib Anak Cerdas di Indonesia

Oleh IIK NURULPAIK

SEBUAH berita ringan mancanegara di salah satu televisi swasta nasional beberapa waktu lalu sungguh sangat mengagumkan. Berita tersebut mengisahkan seorang anak kecil berusia 7 tahun, Alex Mortgail, asal Bremen, Jerman, memiliki IQ yang sangat cemerlang. Dalam usia 2,8 tahun, dia sudah lancar membaca dan menulis. Setiap harinya tak terlewatkan membaca berbagai karya sastra untuk anak, juga "melahap" habis sejumlah jurnal ilmiah, berbagai berita koran maupun berita melalui teknologi informasi. Pendek kata ia tidak pernah melewatkan berbagai informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber.

Orang tua Mortgail sempat merasa khawatir dengan kecerdasan otak anaknya itu. Kecerdasannya telah menyebabkan perilakunya "menyimpang" karena menjadi sangat berbeda dengan anak-anak lain sebayanya. Mortgail hampir setiap harinya hanya mengisi waktunya dengan membaca, menulis, dan "bergaul" dengan teknologi informasi. Ketika memasuki usia 5 tahun, Mortgail sudah bisa menguasai tiga bahasa dunia, Inggris, Spanyol, Prancis, dan tentu saja bahasa Jerman. Di sekolahnya, berbagai bentuk soal hitungan matematika, fisika, dan kimia dapat dijawabnya dalam waktu singkat.

Melihat kecerdasan yang luar biasa pada diri Mortgail, kepala sekolahnya merekomendasikan murid istimewa itu untuk langsung belajar di perguruan tinggi tanpa mengikuti sekolah tingkat menengah. Setelah di universitas, dengan melihat keistimewaan Mortgail, rektor universitas tempat Mortgail kuliah segera mendaftarkan anak itu ke lembaga pemerintah yang secara khusus menangani anak berbakat. Berkat keistimewaan yang dimilikinya, Mortgail dinyatakan sebagai "anak negara". Beberapa tahun kemudian, ketika ia berusia 10 tahun, si anak ajaib itu, muncul di jaringan televisi Jerman untuk melakukan debat ilmiah dengan sejumlah profesor. Itulah kisah Mortgail si bocah ajaib, luar biasa.

Apakah kecerdasan itu?

Pada tahun 1904, Menteri Pendidikan Prancis di Paris meminta psikolog Prancis kala itu, Alpred Binet, dan sekelompok psikolog mengembangkan suatu alat untuk menentukan siswa SD mana yang "berisiko" mengalami kegagalan, agar mereka dapat diberi perhatian khusus. Kerja keras mereka akhirnya membuahkan tes kecerdasan yang pertama. Dalam perkembangannya kecerdasan tersebut diukur secara objektif dan dapat dinyatakan dalam satu angka atau nilai "IQ". Hampir setelah 80 tahun berselang dikembangkannya tes kecerdasan yang pertama tersebut, psikolog Harvard, Howard Gardner, mempersoalkan pengertian kecerdasan. Dia mengatakan bahwa penafsiran kecerdasan di masyarakat awam terlalu sempit. Kemudian ia menulis sebuah buku yang berjudul "Frames of Mind: the Theory of Multiple Intelligences".

Dalam bukunya itu Gardner mengemukakan sekurang-kurangnya ada delapan kecerdasan dasar manusia. Delapan kecerdasan dasar manusia menurut Gardner tersebut adalah,

(1) Kecerdasan linguistik. Kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis misalnya, pendongeng, orator atau politikus, sastrawan, penulis drama, editor, wartawan;

(2) Kecerdasan matematis-logis. Kemampuan menggunakan angka dengan baik misalnya, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistik, ahli logika;

(3) Kecerdasan spasial. Kemampuan memersepsi dan mentransformasikan dunia spasial-visual secara akurat misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu, dekorator interior, arsitek, seniman atau penemu;

(4) Kecerdasan kinestetis-jasmani. Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide, perasaan, misalnya, sebagai aktor, pemain pantomim, atlet atau penari, perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah;

(5) Kecerdasan musikal. Kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara memersepsi misalnya, sebagai penikmat musik, kritikus musik, komposer, penyanyi;

(6) Kecerdasan interpersonal. Kemampuan mempersepsi, membedakan dan peka terhadap suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain;

(7) Kecerdasan intrapersonal. Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri secara akurat (kekuatan dan keterbatasan diri);

(8) Kecerdasan naturalis. Keahlian mengenali dan mengategorikan species -- flora dan fauna -- di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena alam lainnya misalnya, formasi awan dan gunung-gunung.

Bagaimana dengan nasib anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa di Indonesia? Sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap kelompok anak yang memiliki keistimewaan kecerdasan belum begitu menggembirakan. Di Indonesia belum ada lembaga yang secara khusus menaruh perhatian terhadap anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan luar biasa seperti si Mortgail di Jerman, apalagi sampai memprogramkan secara khusus untuk mencari, mengumpulkan, dan memberikan perlakuan istimewa terhadap mereka.

Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa belum memperoleh perlakuan sebagai aset berharga bagi kemajuan bangsa. Conny Semiawan, guru besar psikologi pendidikan dari Univesitas Negeri Jakarta (UNJ), pernah bereksperimen dengan membentuk lembaga pendidikan yang secara khusus menangani anak jenius. Lembaga tersebut cukup berhasil dalam mengembangkan berbagai potensi istimewa yang dimiliki anak. Namun sayang sekali, karena adanya keterbatasan dalam masalah pendanaan, projek uji coba tersebut pun tidak ada kelanjutannya.

Bukan itu saja, di masa lalu, tingkat pendidikan dasar dan menengah pernah membuat suatu langkah kebijakan, yakni memberikan kesempatan kepada setiap siswa berbakat dan memiliki prestasi belajar yang menonjol diperkenankan bisa naik dua tingkat sekaligus. Misalnya, dari kelas 2 bisa langsung naik ke kelas 4 tanpa harus melalui kelas 3, dari kelas 3 langsung ke kelas 5, kelas 4 bisa langsung naik ke kelas 6 tanpa harus belajar di kelas 5 terlebih dulu. Tentu saja langkah tersebut juga dilakukan melalui tes kemampuan ditambah pertimbangan akademis lainnya. Bila dilihat dari sisi akademik, sistem ini membuka kesempatan bagi anak berbakat untuk terus menggali potensinya. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, program tersebut tidak diperbolehkan. Menurut kebijakan tersebut, anak berbakat harus belajar secara bersama dengan anak biasa lainnya. Dengan tujuan yang baik yakni supaya tidak terjadi eksklusivisme.

Pemberlakuan sistem seperti itu hanya membuat mereka menjadi malas, karena tanpa "memeras keringat" saja kemampuannya bisa menyamai anak yang kemampuannya biasa. Akhirnya dalam perkembangannya, karena kemampuannya tak pernah diasah lagi, mereka pun mengalami penumpulan kemampuan. Matilah potensi mereka. Sebagai gantinya, kini di sekolah-sekolah muncul program kelas unggulan. Namun sayangnya, sistem seperti ini hanya mengelompokkan anak-anak pintar agar terpisah dari yang biasa, karena kurikulum maupun metode yang dipergunakannya sama saja dengan kelas reguler biasa yang bukan unggulan. Akhirnya, tujuan dan efektivitas program pun menjadi bias.

Secara filosofis, program pendidikan bagi anak berbakat itu dapat dan harus dilakukan dengan mendekatkan mereka pada realitas kehidupan masyarakat, demi menumbuhkan dan membentuk watak kepeduliannya terhadap berbagai problema di lingkungan sekitarnya, baik masalah ekonomi, sosial, politik, maupun lingkungan alamnya. Mereka harus dibina dalam konteks hubungan sosial dengan manusia, dengan lingkungan alamnya, dan hubungan vertikal dengan Tuhannya, sehingga mereka bisa mengasah kecerdasannya dengan mengkaji dan menganalisis berbagai persoalan yang dihadapinya dengan pendekatan ilmiah yang dilandasi ketauhidan kepada Tuhan YME.

Faktor-faktor penting yang harus mendapat perhatian serius dalam pengembangan anak cerdas adalah menumbuhkan mental mandiri, penanaman rasa percaya diri, dan mengembangkan sikap persaudaraan (kepekaan sosial). Menurut Utami Munandar, Guru Besar Psikologi UI, keberhasilan pendidikan anak berbakat cerdas juga akan sangat bergantung dan ditentukan oleh peranan orang tua, baik dalam proses pembelajarannya di sekolah, maupun kesesuaiannya dengan pendidikan di keluarga. Artinya, orang tua tidak bisa memercayakan sepenuhnya tugas mendidikan anaknya kepada sekolah dan guru. Atau menghendaki anaknya belajar yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi anaknya.

Sekolah bukanlah tempat yang secara serta merta dapat memperbaiki aspek kepribadian anak secara utuh seperti mental, spiritual, etika, dan knowledge anak. Apalagi potensi yang bersifat lahiriah, termasuk potensi bakat dan kecerdasan. Sekolah-sekolah yang ada sekarang ini sudah terlampau berat memikul beban tanggung jawab dan harapan yang begitu tinggi dari orang tua, termasuk dalam menjawab tuntutan kebutuhan dalam upaya pendidikan anak-anak berbakat cerdas. Sekolah secara faktual belum bisa menangani masalah pendidikan anak cerdas ini disebabkan semata-mata proses pembelajaran siswa di sekolah masih belum sepenuhnya efektif karena berbagai keterbatasan, baik yang menyangkut aspek tenaga kependidikannya, sarana, prasarana, maupun sistem manajemen pendidikan.

Dalam memperlakukan anak, hendaknya guru maupun orang tua, tidak memaksakan untuk mempelajari atau menguasai sesuatu (ilmu, keterampilan, kegemaran, dsb.) yang bukan keinginan dan jauh dari kemampuannya. Tentu saja tidak semua potensi kecerdasan (multiple intelligences) seperti yang dikemukakan Gardner di atas dimiliki oleh anak. Anak harus dipahami potensi pribadinya secara tepat. Sehingga kita dapat menerapkan pola dan arah pendidikan bagi pengembangan potensi pribadinya secara benar sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Ibarat seekor kancil, janganlah ia dipaksa untuk bisa berenang tapi latihlah dia untuk bisa berlari semakin cepat karena keunggulan kancil memang dalam berlari, bukan berenang.

Sudah saatnya kita memberikan perhatian secara khusus kepada anak yang memiliki potensi kecerdasan luar biasa. Jumlah mereka menurut perkiraan para ahli mencapai 10-20% dari suatu populasi. Mereka mutiara di dalam lumpur yang harus diangkat dan diasah sampai bersinar. Mereka bibit yang unggul. Jangan biarkan mereka mati dan layu sebelum tumbuh dan berkembang.

Ada secercah harapan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 5 ayat (4) yang menegaskan, bahwa warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Pria Idaman

Simpatik, dewasa, menyenangkan, bisa memahami, enak diajak bicara dan yang paling penting, mencintai! Meski memenuhi segala persyaratan yang memungkinkan orang menyukainya dengan segala kelebihan diatas, namun terdapat satu kekurangan pada dirinya, wajahnya yang terlalu biasa. Sehingga hal kecil (soal wajah) yang sebenarnya tidak terlalu penting itu menjadi ganjalan untuk memberikan sikap balasan yang sepadan, mencintainya pula.

Sebagian orang menganggap wajah menarik -cantik ataupun tampan- adalah menyenangkan. Sekilas tampak berbeda memang, meski hanya sebatas itu kelebihan yang dimilikinya. Bagi setiap mata yang memandang keelokan paras seseorang, memungkinkan setiap pemilik mata itu suka bahkan jatuh cinta!Menentukan pilihan untuk dijadikan calon pendamping hidup terkadang membingungkan bagi sebagian wanita.

Antara memilih yang memiliki pemahaman bagus akan agamanya (sholeh) tetapi tidak berwajah tampan atau mengharap yang rupawan tetapi kurang pemahamannya akan berbagai hal, baik itu agama, pengetahuan umum serta sikap simpatik dan kedewasaannya. Tentu jika boleh memilih, pasti memilih yang menarik rupanya, pintar, sholeh pula.Masalahnya sekarang, entah sampai kapan pilihan-pilihan dengan berbagai sisi kekurangan itu kerap terjadi. Sebenarnya, seberapa pentingkah wajah seorang laki-laki bagi wanita? Sebab, banyak wanita yang hingga saat ini meyakini bahwa wajah merupakan cerminan batin. Keyakinan seperti ini memang agak sulit ditolak, meski dalam beberapa hal, juga harus diakui, bahwa batin seseorang terlalu luas untuk dicerminkan hanya dalam seraut wajah.

Atau pemahaman sebaliknya, wajah terlalu sempit untuk bisa mengungkapkan seluruh isi hati dan jiwa seseorang.Tetapi, memang sudah kodratnya, mata diciptakan untuk cenderung dan suka pada hal-hal yang indah. Tak mengherankan pula bila setiap wanita berharap, dibalik wajah rupawan seorang lelaki tersimpan jiwa yang indah pula, yang mana hal itu acapkali menjadi harapan setiap wanita dalam mencari pasangan hidup.Seberapa penting wajah seorang lelaki bagi wanita?Saat anda berkenalan dan hendak memulai suatu hubungan, wajah memang seringkali menimbulkan rasa simpati.

Melihat wajah seseorang yang bersih, terlebih tampan, kita akan merasa senang, dan betah berlama-lama untuk berbincang, tentu tidak sedikit wanita yang sekaligus melambungkan angan. Tetapi, untuk hubungan yang dalam, intens dan berisi harapan-harapan yang berkelanjutan ke jenjang rumah tangga, bukankah wajah menjadi faktor yang kesekian? Kita mulai mengukur kepribadiannya, pola fikirnya, keluarganya dan pendiriannya, bahkan jika perlu kadar romantisnya. Untuk sementara, kesampingkan faktor wajah! Pribadi dan pendirian seorang lelaki yang bisa memberi rasa damai, aman serta penghargaan, yang lebih kita butuhkan dibanding \'selembar\' wajah.

Apalagi jika ketampanan itu tak memancarkan keteduhan dan perlindungan serta pribadi yang kokoh.Pertanyaannya kemudian adalah, adakah anda merasa lebih memerlukan kerupawanan wajah untuk dibanggakan meski ia tidak memiliki pribadi yang berarti buat anda. Atau kepribadian dan pendirian seorang lelaki yang utuh, yang meneduhkan yang memungkinkan bisa selamanya dibanggakan. Hal ini sebenarnya bukan masalah yang sulit bagi kita, jika ukuran kita adalah hubungan yang didasari oleh perasaan perlu akan kedamaian, ketenangan, penghargaan, dan tentu saja kecerdasan.

Jika ukuran hubungan anda adalah beberapa faktor di atas, lupakanlah kekaguman pada wajah, dan raihlah pribadi yang tak menyembunyikan pesona batiniahnya dalam seraut wajah. Apalagi kita tahu, semua yang terhampar dalam wajah hanya akan terlihat bersinar tidak lebih dari duapuluh tahun. Tetapi kepribadian seseorang yang utuh, setidaknya bertahan lebih dari itu.

9.15.2006

Kenakalan

Oleh Mustafid Amna

SEKALIPUN seringkali dikaitkan dengan anak-anak, sehingga dikenal istilah anak nakal, dan adakalanya disangkutpautkan dengan orang dewasa seperti pengusaha nakal, kenakalan lebih melekat pada remaja. Mencorat-coret dinding, mabal (bolos sekolah) dan kebut-kebutan adalah jenis-jenis kenakalan yang umum dilakukan remaja kita. Dalam dekade terakhir, kenakalan remaja cenderung sangat memprihatinkan. Media massa, baik cetak maupun elektronik sering memberitakan aktivitas remaja yang membahayakan. Sebut saja perkelahian secara perorangan, tawuran pelajar, mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian, perampokan, penganiayaan dan penyalahgunaan obat-obatan seperti psikotropika, yang yang bisa berujung dengan kematian.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nakal adalah "suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu dsb. terutama bagi anak-anak) atau buruk kelakuan."
Juvenile deliquency atau kenakalan remaja dapat ditinjau dari empat faktor penyebab, yakni faktor pribadi, faktor keluarga yang merupakan lingkungan utama, maupun faktor sekolah dan lingkungan sekitar yang secara potensial dapat membentuk perilaku seorang remaja.

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci bimbingan orang tua yang bertanggung jawab dapat mengantar individu manusia menerima hidayah Allah sehingga potensi kemalaikatan yang ada dalam dirinyalah yang akan berkembang. Sebaliknya, tanpa bimbingan orang tua, tidak mustahil justru potensi kebinatangan yang ada dalam diri individullah yang akan muncul. Maka berbagai sifat keji (ahlaqul madzmumah) seperti pemarah, tamak, dengki, pendendam, tidak sabaran, sombong dan tidak amanah seumpamanya yang akan berkembang dan melekat pada pribadi yang bersangkutan. Hal ini berlaku karena individu tersebut telah dikuasai oleh naluri agresif dan tidak rasional yang mewakili nafsu kebinatangan, serta pengalaman yang diterima sejak kecil. Sifat-sifat tidak baik itu mungkin telah muncul sejak individu masih anak-anak dan kemudian tambah diperkuat ketika yang bersangkutan memasuki masa remaja.

Pada tahap perkembangan awal sebagian besar waktu anak pada umumnya dihabiskan di lingkungan rumah atau dalam pengawasan keluarga. Ini berarti bahwa perkembangan mental, fisik dan sosial individu ada di bawah arahan orang tua atau terpola dengan kebiasan yang berlaku dalam rumah tangga. Dengan demikian jika seorang remaja menjadi nakal atau liar maka kemungkinan besar faktor keluarga turut memengaruhi keadaan tersebut. Kondisi keluarga yang dapat menyumbang terhadap terjadinya kenakalan anak adalah kurangnya perhatian yang diberikan orang tua, serta kurangnya penghayatan dan pengamalan orang tua/keluarga terhadap agama.

Sekolah merupakan lingkungan belajar kedua yang berkontribusi terhadap keberhasilan dan ketidakberhasilan, dengan salah satu indikator kenakalan, anak. Faktor sekolah yang berkontribusi terhadap kenakalan remaja antara lain disiplin sekolah yang longgar, ketidakacuhan guru dan pengelola sekolah terhadap masalah siswa di luar urusan sekolah, serta tidak lancarnya komunikasi antara guru dan orang tua yang menyebabkan kecilnya peran orang tua dalam kemajuan pendidikan anaknya.
Faktor lingkungan merujuk kepada peranan masyarakat, multimedia dan berbagai fasilitas, seperti pusat-pusat hiburan yang menyediakan pelbagai produk yang bisa menumbuhkan dan meningkatkan rangsangan seksual dan nafsu hewani . Aktivitas lingkungan yang menyumbang terhadap kenakalan remaja antara lain pergaulan bebas di antara pria dan wanita, sikap permisif yang ditunjukkan masyarakat, munculnya pusat-pusat hiburan serta pertunjukan musik yang mengumbar birahi serta tayangan kekerasan dan pornografi.

Pada praktiknya kontribusi keempat faktor tersebut berbeda-beda dalam berbagai kasus kenakalan remaja. Sekalipun demikian jika seorang remaja terjatuh dalam kenakalan, maka orang tualah yang memiliki tanggung jawab terbesar. Ketimbang menyalahkan pihak lain, orang tua pulalah hendaknya yang mengambil inisiatif memperbaikinya. Dalam keadaan demikian seyogianya orang tua: 1) dapat memaafkan dan berlaku adil terhadap anak. 2) Tidak terlalu menampakkan kekecewaan dan dapat menerima anak apa adanya. 3) Memberi pertolongan dan membimbing dengan sabar, lemah lembut dan penuh kasih sayang. 4) Meminta pendapat remaja yang bersangkutan tentang bagaimana mencari solusi masalah yang sedang dihadapi.

Berjaga-jaga dengan memberikan pendidikan agama sejak dini, selalu lebih baik dari pada mengobati. Sebelum atau sekurang-kurangnya pada saat memohon dianugerahi anak saleh, kita seyogianya siap menjadi orang tua yang saleh. Orang tua yang saleh adalah pria yang mampu menjadi pemimpin buat istri dan anak-anaknya. Ibu yang selalu berusaha menyiapkan surga bagi anak-anaknya di telapak kakinya.

Orang tua yang siap memberikan teladan buat putra putrinya dan orang tua yang bertanggung jawab terhadap kebahagiaan dunia akhirat anak-anaknya."Setiap saat bayi terlahir dalam keadaan suci, terpulang kepada orang tuanyalah untuk meyahudikannya atau menasranikannya (Hadis Riwayat Bukhari).

Menolong Siswa yang kurang PD

Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling
oleh: Slameto

DESKRIPSI KASUS

Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.

MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF

Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING

Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.

PENUTUP

Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli3. Kesegaran hasil yang dicapai,4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawa b penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik SDSSharus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.